Opini Penonton adalah Pemain Tanpa Instrumen

Come crawling faster
Obey your master
Your life burns faster
Obey your master
Master


Kalimat di atas adalah penggalan lagu Master of Puppets-Metallica, grup musik yang pernah menggelar konser spektakuler 1.6 juta penonton di Moscow tahun 1991. Dibawakan energik mampu memancing emosi penonton menjadi koor yang mengguncang Stadion Lebak Bulus Jakarta di tahun 1993. Peristiwa ini menumbuhkan kerinduan dan penantian panjang sampai 20 tahun untuk Metallica kembali ke Indonesia. Bagaimana faktanya? Kehadirannya dinanti, animo penonton tinggi, dan antusias terdengar dari koor penonton mengiringi lagu demi lagu.

Bayangkan dan rasakan, pada situasi anda berada di tengah lautan manusia dan keluar koor penonton. Hingga melahirkan gemuruh ombak yang menghantam dinding cadas. Seperti heroiknya supporter sepak bola dengan membawakan lagu-lagu penyemangat dan anda berada di dalamnya. Merasakan betapa dahsyatnya gelombang suara bersama meneriakan syair-syair penyemangat di panggung musik hingga penonton bukan lagi pendengar tetapi penikmat yang turut menyuarakan nyanyian bersama. Bagi yang pernah mengalaminya tentu memiliki kesan yang tak terlupakan.

Tidak adil rasanya jika cinta Indonesia tetapi mengangkat topik pembahasan grup band asal Amerika. Tetapi juga tidak bisa dikatakan anti nasionalis pada saat pergaulan internasional membutuhkan rujukan sebagai bahan kajian dan motivasi untuk kemudian mengangkat potensi yang ada yang dimiliki oleh karya anak bangsa Indonesia. Agar seimbang maka saya akan mengangkat topik pembahasan penonton Iwan Fals.

Ada alasan yang bisa diterima ketika fanatis itu tumbuh karena logika. Logika mengatakan sang idola adalah bukan sebatas seorang legend tapi setiap lirik dan ucapan menjadi semangat hidup untuk diamalkan. Guru memberikan kebaikan untuk murid dan murid akan mengikuti apa yang dicontohkan oleh gurunya. Sebut saja Maing Tempoe Doeloe (25). “Buat ane Pak Haji Iwan Fals adalah guru kehidupan buat saye bang,” kata Maing.

Maing punya kebiasaan dari rumah memakai seragam guru dan sepeda ontel. Setiap Maing naik sepeda ontel sering menjadi perhatian orang. Kerap di jalanan difoto orang dan diberi cap jempol. Lelaki asli Betawi ini adalah salah satu orang yang dicap pemburu konser Iwan Fals. Tampil khas mengenakan peci hitam, baju batik Korpri, dan membunyikan “totet totet totet” selalu menjadi sorotan juru kamera. Seperti kisah Konser Ngabuburit belakang Kampus UP. Suatu saat penonton terdiam lalu Iwan Fals bekata : “Mane ni suare terompetnye?” Maing spontan membunyikan terompetnya. Iwan Fals membalas : “Nah gitu dong” sambil meneruskan lagu Kebaya Merah.

Artinya, penonton ibarat pemain kedua belas dari kesebelasan sepak bola. Di konser musik penonton adalah pemain tanpa instrumen. Barangkali itu yang menjadi alasan mengapa setiap di pembukaan dan penutupan acara konser Iwan Fals selalu memberikan penghormatan kepada penonton. *sr


Leuwinanggung, (22/3)