Cara Iwan Fals Mengenalkan NTB (Lombok & Bima) Kepada Warga

Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda Van Dongen berkunjung ke Bima tahun 1984. Yang dicari bukan emas, bukan permata, bukan senjata. Tetapi mereka mencari naskah kuno Bima, Bo’ Sangaji Kai. Kerajaan Bima memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian dengan aksara Bima. Dilakukan terus-menerus selama berabad-abad. Dan terakhir ditulis dalam bahasa Arab-Melayu menggunakan kertas dari Belanda dan Cina.

Bima adalah gambaran manusia yang memiliki rutinitas olah jiwa olah raga sehingga membentuk karakter orang Bima. Bima bukan sebuah tempat yang memiliki tambang emas tetapi Bima memiliki sumber daya manusia unggul yang berarti orang Bima adalah tambang emas itu sendiri.

Bima adalah jejak peradaban memberi sumber daya kreatif yang lahir dari pendalaman rasa dan untuk menggapainya dibutuhkan percikan inspirasi soal esoteris orang Bima. Tradisi yang diwariskan mendorong orang Bima tetap menjadi tangguh, ulet, dan berkarakter.

Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis, sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo’ Sangaji Kai. Didorong semangat keilmuannya, Henry segera mendatangi Siti Maryam Salahuddin, seorang filologi keturunan Kerajaan Bima. Bersama-sama mereka melakukan penelitian dan menulis buku yang merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah berjudul Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima.

“Masing-masing punya cara untuk mengenalkan situs budaya di negara ini seperti halnya musisi,” kata Iwan Fals.

“Dengan tujuan agar warga mengenal situs budaya, lagu, alat musik, pakaian adat, dan kebiasaan sehari-hariyang ada di masing-masing. Mungkin saja ada sebagian warga, pecinta musik yang belum sempat mengunjungi daerah yang cukup jauh seperti NTB (Lombok & Bima). Nah lewat konser inilah kita sama-sama bisa mengenalnya,” kata Iwan Fals.

Selain memainkan lagu-lagu yang akrab di telinga, Iwan Fals menyanyikan dua lagu tradisi NTB. Tagining Amaq (lagu tradisi Lombok) dan Sarompi Mpida (lagu tradisi Bima). Tarian tradisi Lombok & Bima digelar sejak siang menyambut kedatangan penonton di Panggung Kita. Gendang Beleq adalah salah satu kesenian Lombok yang mendunia dihadirkan di sini. Gendang Beleq artinya gendang berukuran besar dengan berat 50 kg lebih adalah alat musik yang dimainkan sambil duduk, berdiri, dan berjalan mengarak iring-iringan melewati gunung dan laut saat jaman perang. Kini dipakai untuk upacara tradisi Lombok. Rosana Listanto (Presiden Direktur Manajemen Tiga Rambu) berupaya menghadirkan Gendang Beleq di Panggung Kita dan melalui kerja manajemen berhasil memberikan suguhan menarik menjadi kolaborasi musik tradisi bersama Iwan Fals & Band pada lagu Sangkala, Hutanku, Coretan Di Dinding.

Penonton yang bertahan sejak siang hingga sore menikmati dengan nyanyian bersama. Saat MC Riyanni Djangkaru menyapa dengan salam pembuka, terasa dan melebur menjadi satu dalam energi bersama. Ghirah, sebuah kondisi yang tercipta dari percikan inspirasi. Iwan Fals membuka dengan Intro sendirian. Panggilan Dari Gunung yang mewakili Gunung Tambora dan Gunung Rinjani di NTB menjadi lagu selanjutnya yang memacu energi dan mendorong antrian penonton untuk berlari turun ke lembah Panggung Kita. Di Mata Air Tak Ada Air Mata masuk ke dalam ingatan sambil berucap mengikuti bait-bait yang menyimpan tangisan jujur dari kedalaman rasa.

Ada, Tagining Amaq (lagu tradisi Lombok), Sarimpi Mpida (lagu tradisi Bima), Ambulance Zig-Zag, Tince Sukarti Binti Mahmud, Ya Ya Ya Oh Ya semakin membuat penonton betah bernyanyi bersama. Silaturahmi antara individu-individu yang melebur menjadi satu menyambut hangat hadirnya penyanyi bintang tamu bersuara merdu, Andien. Gemilang, Seperti Matahari, Yang Tersendiri, Asmara & Pancaroba.

Sanggar Bumi Gora dengan dua Gendang Beleq dan musik tradisi Lombok memberi warna sehingga perpaduan ini memberi harmoni pada lagu Sangkala, Hutanku, Coretan Dinding.

Iwan Fals di penghujung acara menjelang maghrib melakukan kontemplasi. Spirit batiniah dari sebuah pertunjukan yang menghibur sekaligus mendidik. Kontemplasi yang mengalir bergelombang seperti arus samudera dan semakin masuk kedalaman rasa terwakili oleh Nyanyian Jiwa, Kesaksian, Karena Kau Bunda Kami.


Leuwinanggung, (5/3/2018).

Fotografer : Ichan Maulana
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto