Digoreng & Digiring

Entah bagaimana awalnya dan siapa yang mempopulerkannya sehingga muncul istilah adu domba. Adu domba adalah seni ketangkasan khas tatar Pasundan di Garut. Adu domba diiringi kesenian tradisional kendang pencak. Domba Garut mempunyai badan kekar dan tanduk melengkung. Lantas mengapa kemudian ilmu pengetahuan sosial memakai istilah adu domba padahal yang beradu adalah manusia.

Adu domba mendapat tempat di media sosial. Media sosial menjadi ruang terbuka penggorengan dan penggiringan opini. Media sosial seringkali menyebarkan isi berita seperti karangan bebas. Mungkin mereka waktu jaman SD (Sekolah Dasar) tidak tersalurkan di lomba mengarang. Foto diterjemahkan menjadi sedemikian rupa tanpa melalui proses pencarian kebenaran peristiwa. Mengabaikan cek dan recek berita sehingga berita tidak sesuai dengan kenyataan.

Mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya adalah sebuah keniscayaan dalam komunikasi massa. Periksa dengan teliti (tabayyun) karena setiap pesan yang terkirim hanya butuh satu klik untuk menyebar. Jika tidak, tanpa sadar kita menjadi bagian agen pembunuhan karakter.

Seperti halnya berita yang beredar di Jakarta, kampanye Gue 2 dimeriahkan Iwan Fals padahal pada saat yang sama Iwan Fals sedang Tour TOP Coffee di Palembang. Ada lagi foto Iwan Fals dan Jokowi sedang makan dibumbui dengan kata-kata “makan siang di dalam istana” padahal itu sebenarnya makan malam di pendopo Iwan Fals, Leuwinanggung. Jokowi datang silaturahmi pada Kamis malam tanggal 3 April 2014. Jokowi saat itu menjabat Gubernur DKI melakukan kunjungan balasan yang mana saat beliau menjabat Walikota Solo pernah menjamu kedatangan Iwan Fals di Solo.

Dan kini yang sedang menghangat adalah foto Iwan Fals dan Ahok dibumbui dengan kata-kata “Astagfirullah jadi teman Ahok, Iwan Fals ikutan hina ulama dan Islam.” Penulis bertanya kepada media pembuat dan penyebar berita berlabel Islam tapi tidak melakukan tabayyun. Mengapa tidak melakukan pendalaman berupa wawancara dan penelitian. Mengapa gampang menghakimi dengan membuat berita dan kemudian menyebar berita di media sosial. Mengapa sekarang orang langsung memetakan Iwan Fals teman Ahok, Iwan Fals hina ulama, Iwan Fals hina Islam?

Mari kita berdebat dengan pikiran sehat dan hati jernih. Apakah pengertian teman Ahok? Lantas apa salahnya silaturahmi ke Ahok Plt Gubernur DKI? Agar diketahui kehadiran Iwan Fals di sana tidak sendirian tapi bersama rombongan NET TV, Jumat tanggal 27 Juni 2014. Indonesia seperti pelangi, beraneka ragam warna tapi satu. Keanekaragaman agama adalah warna hidup bersama dalam harmoni yaitu kerukunan hidup antar umat beragama. Suku bangsa yang berbeda saling berinteraksi dan menjadi satu yakni Indonesia. Indonesia bukanlah bangsa primitif sehingga tidak anti Arab, Cina, Jepang, Eropa, dan lainnya. Jika ada yang menggelorakan anti Cina tapi pro Arab maka perlu dipertanyakan ke-Indonesia-annya. Atau sebaliknya, jika ada yang menggelorakan anti Arab tapi pro Cina maka perlu dipertanyakan pula ke-Indonesia-annya. Dalam tubuh Indonesia itu berbeda tapi satu, seperti “Tince Sukarti Binti Mahmud” ayah Arab ibunda Cina.

Mari kita berpikir terbuka tentang hablumminallah dan hablumminannas. Kita sepakat sebagai makhluk berTuhan dan negara sudah mencantumkannya pada sila pertama Pancasila. Sepakat dengan Pancasila berarti sepakat untuk hidup di Indonesia dengan berbagai aturan negara yang menjamin hablumminallah, sila pertama Pancasila. Dan negara menjamin hablumminannas yaitu sila kedua, sila ketiga, sila keempat, dan sila kelima Pancasila.

Soal hina ulama dan hina Islam, mesti hati-hati memakai kosa kata. Apakah benar sebuah pernyataan itu menghina? Bukankah pernyataan itu memberikan pandangan atau masukan? Mengapa sebuah pandangan gampang dinilai menjadi sebuah hinaan? Lantas ulama dan pemuka agama Islam tidak pernah menyatakan dirinya mendapat hinaan mengapa media tersebut membenturkan Iwan Fals dengan ulama, membenturkan Iwan Fals dengan Islam? Untuk yang tidak dewasa menyikapi persoalan maka membaca berita “Astagfirullah jadi teman Ahok, Iwan Fals ikutan hina ulama dan Islam” diyakini menjadi sebuah kebenaran peristiwa. Opini digoreng dan digiring sebagai alat provokasi media sosial untuk membunuh karakter Iwan Fals. Untuk yang dewasa menyikapi persoalan maka mencari kejelasan hingga jelas benar keadaannya.

Bahwa rekam jejak itu bukan diperoleh hanya dari satu sumber media tetapi mencari perbandingan yang lain sehingga rekam jejak menjadi obyektif. Media sosial punya peran untuk membentuk civic education maka publik yang cerdas tidak bakal terpengaruh dan menolak adu domba.


Leuwinanggung, Jumat (17/2).

Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto