Coretan Dinding, Seni Kejadian Berdampak

Bayiku tidak akan pernah berfikir bahwa harimau itu jahat
Bayiku menarik-narik kumis dan memukul-mukul mulut harimau
Harimau malah memberikan bayiku mainan
Bayiku menjadi bayi harimau bayi harimau anak petani
Seperti sanca melilit kerbau dia ada di gorong-gorong kota
Lantas apa agamanya?

Kerbauku kerbau petani ularku ular sanca
Bayiku murni dan kosong dia ada di gorong-gorong kota
Kerbauku kerbau petani ularku ular sanca
Bayiku bayi harimau dia ada di gorong gorong kota


Penggalan kata-kata dari lagu berjudul Cikal cukup sulit untuk dipahami kalau sekedar sekali atau dua kali mendengarkannya. Adalah Bramantyo Prijosusilo di awal tahun 90-an sering menemani Iwan Fals di rumah Condet. Lantas coretan dinding di tembok rumah Condet menjadi saksi perjalanan peristiwa. Bram dikenal kutu buku kini kembali ke kampung sebagai petani, penulis, dan penggerak seni peristiwa. Bram sebagai sutradara Upacara Kebo Ketan di Sendang Margo-Lapangan Desa Sekarputih mencoba merangkai sebuah coretan ke dalam peristiwa yang proses pekerjaannya dengan tradisi gotong royong.

Menghidupkan Sendang Margo sebagai titik sumber mata air untuk kwalitas tanah dan kehidupan masyarakat menjadi titik utama kegiatan. Di Sendang Margo ada tumpukan batu yang disusun tanpa semen tanpa lem. Batu ini disusun tidak bisa sembarangan karena butuh konsentrasi. Antara batu yang satu dengan batu yang lain ada sudut yang bisa menyebabkan batu menempel dan hanya bisa dilakukan oleh konsentrasi dan latihan. Dan upacara Kebo Ketan, di sini banyak hal yang menarik untuk dipelajari. Kraton Ngiyom merencanakan mulai dari persiapan gambar, pembuatan Kebo Ketan 5 hari, ketan 2 kwintal, dengan melibatkan banyak orang berkesenian sebagai dinamisasi nilai.

Bagi Kraton Ngiyom, upacara ini juga sekaligus peluncuran dan sosialisasi gagasan Seni Kejadian yang lebih besar yaitu “Wuluayu Bengawan Solo”, sebuah Seni Kejadian Berdampak yang pada prinsipnya memperluas apa yang sudah dilakukan di Sendang Margo agar bisa diaplikasikan pada sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo dan daerah yang mendampakinya.

Upacara Kebo Ketan berfungsi untuk menguatkan kohesi sosial masyarakat setempat, menjaga serta meningkatkan kwalitas tanah dan air. Ia diadakan sebagai simbol penyadaran untuk memahami hubungan antara makhluk hidup, benda mati, dan penguasa alam semesta. Pohon dan sampah menjadi titik fokus aksi karena memuliakan pohon dan sampah sama dengan memuliakan tanah dan air. Dari rangkaian kata-kata tersebut sebenarnya menjelaskan gagasan konser Iwan Fals. Konser adalah silaturahmi, konser adalah pohon, konser adalah sampah. Artinya, atas alasan ini maka Iwan Fals hadir di Ngawi.

Dr. Zastrouw Al Ngatawi, Ki Manteb Soedharsono, Sawung Djabo, Oppie Andaresta, Kodok Ibnu Sukodok, Iwan Fals, Slamet Jenggot, dan musisi dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Inggris memberikan sumbangan keikhlasan masyarakat di seluruh dunia. Tampil solo, Iwan Fals bercerita tentang Album Cikal.

Untuk Bram, Untuk Yani, Proyek 13, Cendrawasih, Cikal, Panggilan Dari Gunung, Belum Ada Judul dibawakan merangsang rasa. Beda Iwan Fals tampil solo dan tampil bareng band. Yang bisa menjawab adalah yang pernah merasakan yaitu pernah menyaksikan versi solo dan pernah menyaksikan versi band.

“Pak Mas Bram pernah di Jakarta, tembok-tembok dicoret,” ucap Iwan Fals.

Iwan Fals hadir sejak Jumat, menikmati suasana Ngawi yang kosong. Kosong melahirkan kreatifitas, jika di Condet ada coretan dinding maka di Ngawi ada coretan buku. Karena coretan dinding adalah kegelisahan yang menyebabkan kegelisahan baru. Katanya bersih-bersih tapi kenapa coret-coret dinding. Maka penulis menyodorkan pulpen dan kertas kepada Bram.

Bram menggores coretan di buku harian penulis dengan kalimat : “Kehadiran Bang Iwan di Upacara Kebo Ketan diharapkan merangsang kreatifitas anak muda desa. Ngawi 17/12/2016.”

Bram mengawali kata sambutan di atas panggung dengan kalimat : “Sambutan pertanggungjawaban karya, upaya membangkitkan keikhlasan semua orang.”

Seni Kejadian Berdampak diperingati sebagai satu serial dari serangkaian narasi yang sedang dibangun, makhluk yang memperjuangkan kejayaan Nusantara sebagai bangsa maritim yang tidak lupa daratan, bertani itu megolah tanah sehingga tanah makin lama makin subur bukan makin rusak. Kemudian atas saran Habib Luthfi Yahya, kegiatan positif ini bisa dilakukan setiap tahun apalagi merangkul semua agama. “Karena Islam itu Rahmatan lil Alamin bukan Rahmatan lil Muslimin,” ujar Bram.

Maka Upacara Kebo Ketan adalah tonggak sejarah kebudayaan Jawa, sebelumnya perayaan Grebeg Maulud selalu diselenggarakan oleh raja kini diselenggarakan oleh rakyat jelata. Kebudayaan bertujuan untuk mengumpulkan kepingan-kepingan jiwa yang berserakan. Kebudayaan itu hidup rukun hidup damai.

”Pesan Maulid Nabi, umat yang menjaga tradisi, umat yang menjaga budaya. Di Jakarta ada Front Pembela Islam. Di Ngawi ada Front Pembela Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain. Itulah Indonesia,” ujar Dr. Zastrouw Al Ngatawi.

Indonesia Raya 3 Stanza dinyanyikan pada Upacara Kebo Ketan. Kemudian Minggu sore Iwan Fals menyempatkan diri berkunjung ke Benteng Van den Bosch Ngawi. Bangunan peninggalan Belanda ini terletak di sudut pertemuan Bengawan Solo dan Sungai Madiun. Rasa penasaran Iwan Fals kepada tempat-tempat bersejarah menggelitik naluri untuk terus mencari tahu tentang sejarah Indonesia dan luar negeri.

Penulis sepakat dengan Rektor Universitas Gajah Mada Prof. Dwikorita Karnawati yang menjelaskan tentang Indonesia kaya dengan biodiversitas dan keanekaragaman hayati unggul, dengan kedalaman ilmu-ilmu Nusantara seperti yang ditemukan dalam wayang sebagai nasihat (pitutur), gamelan yang memiliki dasar ilmu fisika bunyi adiluhung, konstruksi Nusantara seperti pemanfaatan bambu dan ijuk. Kampus memiliki tanggung jawab dan peran sangat besar dalam membawa kejayaan Nusantara di kancah dunia melalui pembangunan wilayah berbasis pengetahuan. Mata air pengetahuan harus mengalir ke segenap pelosok Nusantara dan penjuru dunia. Inilah seni kejadian berdampak, panggungnya adalah nyata di panggung kehidupan. Maka coretan dinding kita warnai dengan ilmu. Dari kampus mengalir ke kampung-kampung. Dan kita adalah pelakunya.


Leuwinanggung, (27/12).

Penulis : Syaiful Ramadlan
Fotografer : Yopi Yoprud
Editor : Rosana Listanto