Konser Situs Budaya Sebuah Konstruksi Pemikiran

(Foto: Jeane Phialsa, Rosana Listanto, Iwan Fals, Raisa, Riyanni Djangkaru)

Konsekuensi pergaulan internasional membuahkan masuknya westernisasi yang berlindung dalam tubuh modernisasi. Lewat penguasaan teknologi dipandang ampuh guna memegang kendali globalisasi budaya. Kebanggaan akan sirna ketika generasi muda tumbuh lebih mengenal budaya barat. Khasanah budaya Indonesia menjadi asing di negerinya sendiri.

Keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan yang tidak dimiliki negara lain. Budaya lokal berbeda-beda pada setiap daerahnya. Ciri khas budaya seperti rumah adat, pakaian adat, tarian, alat musik, dan adat istiadat yang dianut adalah keunikan yang faktanya mampu menyedot perhatian turis asing yang mempelajari budaya Indonesia. Inilah budaya bangsa yang mesti dikenalkan kembali kepada bangsanya sendiri.

Panggung Kita menjadi titik percontohan yang ditata sedemikian rupa mencoba melakukan komunikasi dan pembelajaran sebagai rumah budaya. Upaya ini diawali dengan komunikasi yang dibangun melibatkan 100 orang panitia terdiri dari karyawan PT. Tiga Rambu dan warga sekitar lingkungan rumah Iwan Fals yang mempunyai kesepakatan bersama untuk membuka pikiran dengan pendekatan yang dilakukan adalah edutainment yaitu pembelajaran yang menyenangkan melalui konser Iwan Fals & Band.

Konser Situs Budaya kali ini dengan tema Kerajaan Bugis, Makassar, Toraja, Mandar. “Om Iwan melakukan pengejewantahan budaya nusantara yang luas ini agar tergali lebih dalam mengenal identitas,” ungkap pembawa acara Riyanni Djangkaru.

Riyanni Djangkaru memanggil Iwan Fals ke atas panggung yang sore itu berpakaian adat baju lengan panjang hitam, sarung, dan ikat kepala mengingatkan kita kepada tokoh yang namanya melegenda seperti Sultan Hasanuddin dan Aru Palaka (Arung Pallaka). 15 Juli 1996 menjadi lagu pembuka menyambut aliran deras kedatangan penonton. “Kalau kau datang hatiku senang berbunga-bunga bulan dan bintang terangi malam sehabis hujan saling bicara tukar cerita berbagi rasa,” menjadi koor massal yang menggema dan menafsirkan keadaan sesungguhnya pada peristiwa saat itu di Leuwinanggung.

Penonton hanyut terbawa nyanyian bersama. Dari atas panggung penyanyi bernyanyi, itu biasa. Tetapi jika penonton ikut bernyanyi 17 lagu, 2 jam itu namanya luar biasa. Bintang tamu Raisa tertantang dan sempat dibuat grogi dengan lautan manusia mengiringi vokal merdunya. “Deg-degan banget. Penonton bernyanyi nggak turun energinya. Penontonnya luar biasa banget. Om Iwan Fans nya Die Hard banget” ungkap Raisa.

Militansi penonton seperti kapal pinisi yang berisikan para pelaut ulung. Syair dalam bahasa Makassar yang terkenal adalah le’ba kusoronna biseangku kucampa’na sombalakku tamassaile punna teai labuang (bila perahu telah kudorong layar telah terkembang takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju), eja pi nikana doang (seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya). Tentang perilaku penggemar yang demikian, Rosana Listanto mengatakan :“Ini karena rasa saling percaya. Terima kasih penonton sudah datang jauh-jauh karena percaya apa yang disuguhkan oleh Iwan Fals.”

Ada yang berbeda dengan formasi Iwan Fals & Band. Canda Iwan Fals kepada penonton. “Eh lihatnya kesini jangan ke belakang terus.” Tepat di belakang Iwan Fals duduk penggebuk drum seorang wanita. Dia tinggal tak jauh dari rumah Iwan Fals. Alsa namanya. Kata ibunya, Alsa panggilan kesayangannya Ade, singkatan dari Anak Depok. Nama lengkapnya Jeane Phialsa. Nama yang unik dan terkesan kebarat-baratan.

Dalam kamus penelitian dan kamus jurnalistik mengatakan, jangan cepat ambil kesimpulan sebelum jelajah dan dalami sejauhmana kebenarannya. Maka penulis mencoba menelusuri dan berhasil mendapatkan keterangan dari ibu Alsa. Alsa lahir 4 Juni 1993 dengan nama lengkap Jeane Phialsa. Jeane diambil dari Juni. Phialsa adalah singkatan. Phi diambil dari Sophia (nama ibu Alsa). Alsa singkatan bahasa Sunda, atos lulus sarjana artinya sudah lulus sarjana. Jadi Jeane Phialsa adalah lahir saat Sophia (ibu Alsa) sudah sarjana. Nah, pertanyaan tentang kebarat-baratan tadi terjawab sudah. Kebarat-baratan karena ada unsur Jawa Barat. Ini salah satu bentuk menghargai sejarah dan ini sebuah konstruksi pemikiran.


Leuwinanggung, (1/8).

Fotografer : Evelyn Pritt
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto