“Waduh Kok Jadi Pengen Nonton Bola Ya”

Iwan Fals sejak SMP sudah gemar nonton bola di Senayan. Saat kuliah Iwan Fals terjun membela kesebelasan IISIP Jakarta. Selanjutnya bersama Raja Pane rajin mengikuti perkembangan sepak bola tanah air dan dunia.

Melalui akun twitter @iwanfals, Sabtu (17/10), pemilik nama asli Virgiawan Listanto ini menulis, “Waduh kok jadi pengen nonton bola ya.” Saat itu pers mengabarkan tentang ketegangan jelang pelaksanaan final Piala Presiden 2015 di Stadion Utama GBK dengan status siaga 1.

“Sepak bola jadi mencekam. Perlu hadir dan membuktikan kebenaran berita itu. Penonton anak-anak saya semua. Bangga punya anak berjiwa besar dan optimis hadapi hidup kedepan,” kata Iwan Fals.

Iwan Fals memandang perlu mengedepankan prestasi dan mengendalikan emosi. Ketegangan antara pendukung yang melahirkan sikap tidak saling menghormati sesama bukanlah ciri anak-anak Indonesia.

“Atau barangkali sebakbola adalah cermin, dimana kita bisa melihat diri kita sendiri. Itulah penonton bola kita, gimana kalau prestasinya dunia ya hiiii,” ungkap Iwan Fals.

Sabtu malam redaksi www.iwanfals.co.id mencermati situasi yang berkembang. Pantauan dari Bandung Bobotoh bergerak massif bakal memadati Jakarta. Sisanya Bobotoh Bon Jovi (Bobotoh Nu Lalajo Tivi). Redaksi melakukan jelajah pemikiran lintas supporter dari Bobotoh Bandung, Jack Mania Jakarta, dan Laskar Wong Kito Palembang yang ternyata ada komunikasi yang mesti dijabarkan antara mana ruang militansi supporter dan mana rambu-rambu yang mesti dijaga. Jika konflik ini sengaja dipelihara maka sepakbola Indonesia tidak pernah berkembang karena ketegangan antara pendukung hanya melahirkan emosi bukan prestasi.

Raja Pane mengajak Iwan Fals menyaksikan final Piala Presiden 2015. Bersama redaksi & dokumentasi (Epol & Firman) menuju GBK. Sepanjang jalan lancar. “Alhamdulillah ibadah haji Raja Pane berkah. Dua minggu masih ditemani malaikat,” ujar Iwan Fals tersenyum.

Ada yang membedakan antara menonton layar kaca (televisi) dan langsung di lapangan. Atmosfir lapangan berbeda. Heroik dengan suara gegap gempita puluhan ribu penonton adalah nyanyian jiwa para pejuang. Mereka mendukung dengan segala daya. Doa yang mengalir dan cucuran keringat di tengah desakan penonton adalah spiritual daya tahan fisik. Solidaritas kebersamaan menuju kemenangan adalah cita-cita. Nonton bola sama seperti nonton konser. Bedanya adalah nonton bola selalu ada suara yang keluar dari gelombang batin yang mengombak bersamaan tanpa kecanggihan teknologi, alami. “Bagi saya nonton bola dan nonton konser seperti haji, ibadah fisik,” kata Epol.

Iwan Fals menaruh rasa kangen dan hormat kepada penonton yang merespon pertandingan ini. Semangat penonton luar biasa dan ini sesungguhnya modal untuk maju. Iwan Fals memandang peristiwa ini adalah awal yang bagus untuk konsolidasi, belajar dewasa, siap menang siap kalah. “Menang kalah menarik tetapi jauh lebih menarik dari menang kalah adalah konsolidasi untuk kompetisi tanpa mafia. Sepak bola tanpa mafia,” tegas Iwan Fals.

“Kalo bersih-bersih jadi budaya penonton sepak bola kita, wuiiih berbahagialah Indonesia” kata Iwan Fals. *sr.


Leuwinanggung, (19/10).