Guru Iwan Fals

Minggu pagi (25/10) Rumah Iwan Fals bakal didatangi banyak orang. Tepatnya di Panggung Kita Leuwinanggung 19 ada pemandangan yang berbeda. Arena konser kini dipenuhi ratusan orang yang datang mengenakan pakaian putih-putih. Kedatangannya membuat Panggung Kita riuh bergemuruh. Mereka berbaris, berdiri, berbaring, bergerak, dan teriak semangat di atas aspal hitam. Pagi hingga siang hari ditemani terik mentari tanpa alas kaki dan ini semuanya mesti dihadapi bukan diratapi. Mereka bahagia.

Menjadi karateka bukan sok jagoan. Karena semakin didalami akan semakin isi dan menemukan makna pengendalian diri. Seperti pegakuan seorang karateka yang memilih ikut latihan karena alasan sederhana, agar berkeringat. Keringat itu hasil pergerakan dan pergerakan membentuk keseimbangan. Seperti naik sepeda agar seimbang maka mesti ada pergerakan yaitu dengan cara mengayuhnya.

Iwan Fals seorang guru. Iwan Fals pemegang sabuk hitam Dan V. Guru dalam berlatih karate disebut Sensei. Sen artinya kepala, Sei artinya hidup. Sensei atau guru bukan yang hanya ngomong memberikan perintah saja tetapi Sensei adalah guru kehidupan yang mengajarkan kebaikan dan mengayomi seluruh murid-muridnya sehingga para murid senantiasa mengikuti ajaran kebaikannya. Sensei melatih karate sepenuh hati dan mengajarkan kebaikan agar ilmu yang diajarkan dapat diterapkan murid-muridnya.

Seperti kutipan dialog beberapa waktu lalu di Bima, (26/9). “Apa yang membuat Iwan Fals tidak takut konser di Bima dan apa yang membuat Iwan Fals tetap segar dan kuat di atas panggung ?” tanya seorang peserta Meet & Greet Iwan Fals.

Iwan Fals menjawab : “Kenapa mesti takut konser di Bima. Saya takut kepada Allah,” ucap Iwan Fals singkat. Tentang menjaga kesehatan dan rahasia Iwan Fals di atas panggung, Iwan Fals mempunyai jawaban sendiri: “Saya latihan karate. Di rumah saya melatih karate. Saya push up minimal 50 kali sehari. Kalo lagi rajin saya push up 100 kali sampai 200 kali.”

Kembali kepada Guru Iwan Fals. Guru dalam filosofi Jawa bermakna “digugu dan ditiru.” Guru bisa digugu karena ucapannya menjadi panutan. Menjadi guru harus banyak membaca, bertanya, mengamati, dan meneliti. Apapun yang diucapkannya akan dianggap benar oleh murid-muridnya. Guru bisa ditiru karena perbuatannya menjadi contoh.

Guru yang baik seperti pemain layang-layang sejati. Dia tak akan pernah membiarkan layang-layang putus. Dia tak akan pernah menginginkan layang-layang jatuh. Dia akan tahu kapan harus diulur, kapan harus ditahan, kapan harus ditarik, dan kapan benangnya mesti digulung. Layang-layang terbang melayang bebas meliuk-liuk di udara adalah kebahagiaan bagi pemain layang-layang sejati. Demikian pula dengan guru yang akan selalu bahagia apabila murid-muridnya sukses.

Seperti yang terjadi di Pendopo Karate, Selasa (13/10). Latihan karate tidak seperti biasanya, berlangsung tiga jam. Biasanya latihan karate berlangsung dua jam. Kalau Iwan Fals yang melatih karate disepakati menjadi dua jam tiga puluh menit. Iwan Fals tahu kalau beberapa hari lagi bakal ada ujian kenaikan sabuk. Maka sebagai guru yang ingin murid-muridnya sukses, Iwan fals memberikan menu latihan sungguh-sungguh. Tidak lebih dan tidak kurang yang Iwan Fals punya dan itulah yang Iwan Fals beri. Karateka wajib menguasai disiplin gerak, tiga unsur gerak yaitu kihong (dasar karate), kata (seni bela diri), dan kumite (pertarungan).

“Masukkan karate dalam keseharianmu karena kamu akan menemukan myo (rahasia yang tersembunyi) dan karate itu mesti setiap saat karena dia seperti air mendidih yang akan dingin kalau tidak memanaskannya,” kata Iwan Fals.

Awalnya putih murni dan suci seperti bayi baru lahir
ia lemah sekaligus liat energinya berlipat-lipat
pertumbuhannya tergantung sang guru (Tangan Kosong, Iwan Fals)


*sr
Leuwinanggung, (14/10).